RITUAL dan TRADISI: Dimensi Transendental Dimasa Pandemi

RITUAL dan TRADISI: Dimensi Transendental Dimasa Pandemi

Gambar

Diposting: 23 May 2020

Foto Ilustrasi: Serikatnews.com



Bulan Ramadhan, kenaikan Isa Almasih, Hari Raya Nyepi dan Idhul Fitri telah sedang dan akan dijalani oleh Warga Negara Indonesia, ritual dan tradisi keagamaan ini merupakan rutinitas yang telah lama mengakar dan melekat dalam setiap sendi kehidupan masyarakat. 



Moment ini tentunya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana ritual ini dilakukan dalam bentuk komunal seperti beribadah di Pura, Gereja dan masjid-masjid lapangan. Selama ini tradisi sowan (saling mengunjungi), silaturrahim dan ziarah menjadi epik untuk disaksikan sebagai bentuk kekayaan budaya bangsa Indonesia. 



Berkembangnya covid-19 yang menjadi pandemi dunia merupakan episentrum pergeseran dari ritual dan tradisi tersebut. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang berimplikasi social/phycal distancing dari berbagai aspek, seperti pembelajaran jarak jauh (long distance learning), bekerja dari rumah (Work From Home) hingga himbauan untuk beribadah agar dilakukan di rumah masing-masing.



Pada dimensi ini, patut kiranya menjadi renungan bagi kita sebagai warga negara dan sebagai umat beragama, bahwa ada masa dimana ritual dan tradisi akan berubah dilatar belakangi oleh situasi-situasi tertentu, salah satunya adalah pandemi Covid-19. Situasi ini meluluh lantakkan teori-teori besar sosiologis hingga doktrin keagamaan yang secara dogmatis sudah melekat kuat di dalam kultur bangsa Indonesia.



Lalu, apakah kemudian sebagai warga negara dan sebagai umat kita akan pasrah dengan keadaan ini? Saya kira kita sepakat untuk mengatakan tidak. Namun apa yang bisa kita lakukan?. Paling tidak menurut saya, sebagai bangsa yang menganut dan memegang erat tradisi leluhur dan sebagai umat beragama yang tunduk dan patuh pada ajaran agama masing-masing, perlu kiranya untuk menderivasi situasi Covid-19 ini pada aspek-aspek transenden yang kemudian dapat di transformasikan menjadi bentuk ibadah esoteris dan ibadah eksoteris.



Secara sederhana dapat dikatakan bahwa apapun agamanya, seseorang dituntut untuk tunduk dan patuh pada ajaran agama yang yakininya. Kepatuhan dan ketundukan pada ajaran tersebut niscaya tidak hanya berdasar pada teks-teks suci pada ajarannya masing-masing, melainkan juga mengkomunikasikannya pada konteks yang terjadi.



Lalu, dimensi transenden apa yang dapat di artikulasikan dalam bentuk yang lebih sederhana dalam menghadapi situasi Covid-19 ini?, jawaban sederhananya adalah harus kembali pada esensi diri manusia. Ajaran agama apapun saya kira mengajarkan hal ini. Hindu misalnya mengajarkan bahwa manusia harus bisa meningkatkan diri agar bisa lepas dari kelahiran berulang atau Punarbhawa yang merupakan salah satu dari lima dasar keyakinan Hindu (Panca Sraddha), yang berarti kelahiran kembali, kelahiran baru, atau kelahiran berulang-ulang agar dapat mencapai Moksa, yaitu lepas atau bebas dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran Punarbhawa dan inilah hakikat dari esensi manusia dilahirkan, agar dapat memperbaiki dirinya agar sampai pada kesempurnaan yang disebut Moksa tersebut.



Demikian juga ajaran Katolik, yang menjelaskan bawah manusia diciptakan menurut gambaran Allah, yang artinya adalah: 1) manusia dapat mengenal dan mengasihi Penciptanya; 2) manusia adalah seorang pribadi, bukan hanya ‘sesuatu’, 3) manusia diciptakan untuk menguasai alam dan melayani Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu untuknya, 4) misteri tentang manusia hanya dapat dipahami dengan mengacu kepada misteri Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia, 5) umat manusia merupakan satu kesatuan, karena mempunyai asal yang sama yaitu Allah, 6) maka semua manusia adalah saudara dan saudari di dalam Tuhan; 7) manusia merupakan mahluk rohani, walaupun ia mempunyai tubuh jasmani.



Kristen Protestan juga mengajarkan bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga. Jiwa adalah suatu wujud yang abadi, tetapi yang diciptakan juga sebagai bagian manusia paling luhur. Meskipun manusia dalam rupa lahiriah mencerminkan kemuliaan Allah, tetapi gambar Allah sebenarnya terdapat dalam jiwa. Allah membuat hubungan Perjanjian dengan manusia. Allah menjanjikan berkat dan rahmat-Nya sedangkan manusia harus menguasai alam dengan menyadari statusnya sebagai ciptaan di bawah kuasa kedaulatan Allah.



Ajaran Budha juga menjelaskan bahwa Manusia adalah kumpulan dari energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu rupakhanda (jasmani), vedanakhanda (pencerahan), sannakhandha (pencerapan), shankharakhandha (bentuk-bentuk pikiran), dan vinnanakhandha (kesadaran) . Kelima kelompok tersebut saling berkaitan dan bergantung satu sama lain dalam proses berangkai, kesadaran ada karena adanya pikiran, pikiran timbul disebabkan adanya penyerapan, penyerapan tercipta karena adanya perasaan, dan perasaan timbul karena adanya wujud atau Rupa.



Kelima khanda tersebut juga sering diringkas menjadi dua yaitu: nama dan rupa. Nama adalah kumpulan dari perasaan, pikiran, penyerapan dan perasaan yang dapat digolongkan sebagai unsur rohaniah, sedang Rupa adalah badan jasmani yang terdiri dari empat unsur materi yaitu unsur tanah, air, api, dan udara atau hawa.



Sementara Manusia dalam agama Khonghucu berasal dari kedua orangtua, dianugerahi sifat-sifat mulia dan agung sejak lahir oleh Thian. Manusia juga diberikan perintah suci dalam menyampaikan ajaran agamanya kepada seluruh umat Khonghucu. Perintah suci tersebut akan diminta pertanggungjawabannya dihadapan Thian. Oleh karena itulah maka manusia ditempatkan dalam kedudukan tertinggi.



Dalam agama Khonghucu, ketika manusia meninggal dunia, maka jasadnya akan kembali ke bumi. Hal itu dikarenakan manusia mengkonsumsi makanan yang berasal dari bumi dan karena itulah maka jasadnya dapat hidup. Sedangkan rohnya yang berasal dari firman Thian, maka akan kembali seperti semula kepada Thian, untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuat setiap manusia di dunia. Islam juga mengajarkan tentang esensi manusia ini, Manusia adalah ciptaan Allah diantara ciptaan-ciptaannya yang lain.



Manusia perlu mengenal dan memahami hakikat dirinya sendiri agar mampu mewujudkan eksistensi dirinya.Pengenalan dan pemahaman ini akan mengantarkan manusia kepada kesediaan mencari makna dan arti kehidupan, sehingga hidupnya tidak menjadi sia-sia. Dalam pengertian ini dimaksudkan makna dan arti sebagai hamba Allah, dalam rangka menjalankan hak dan kewajiban atau kebebasan dan tanggung jawab mencari ridha-Nya.



Berbagai ajaran agama yang secara umum dijelaskan mengenai esensi manusia tersebut sesungguhnya menemukan satu esensi utama bahwa ada kekuatan spritual diluar diri manusia yang mengendalikan, ketundukan dan kepatuhaan pada command and prohibition. Ada yang boleh dan dapat dilakukan, ada yang dilarang untuk dikerjakan, yang semua itu bertujuan untuk kepentingan manusia.  Pandemi Covid-19 mendesak manusia untuk memahami aspek transenden yang menekankan bahwa pengetahuan tidak terbatas pada, dan tidak berasal semata-mata dari pengalaman atau pengamatan, melainkan melampauinya.



Aspek yang melampuinya itulah kekuatan spritualitas. Sebuah pernyataan yang menegaskan bahwa manusia harus kembali melakukan kontemplasi, guna menemukan variabel-variabel yang terabaikan dari kehidupan yang dilaluinya selama ini. Merujuk pada aspek transendental pada masa pandemi ini, sesungguhnya apa yang dikejar, dicapai, dan dicita-citakan oleh manusia mesti menyadari bahwa semua akan sampai pada proses akhir yaitu pertanggung jawaban, agama manapun mengajarkan hal ini.



Oleh karenanya, tidak bisa diabaikan aspek transenden ini dalam menghadapi pandemi yang kini tengah mewabah. Kepatuhan pada regulasi, himbaun dan seruan pemerintah sesungguhnya juga merupakan salah satu instrumen guna memperkuat kontemplasi manusia dalam rangka dalam rangka mengidentfikasi eksistensi dirinya dalam hidup dan kehidupan. Peralihan kebiasaan, tradisi dan budaya selama dan sesudah pandemi harus diorientasikan pada kesempurnaan tugas dan tanggung jawab manusia akan kehidupannya selama ini. 



Pandemi tidak hanya difahami sebagai sebuah proses alam yang dapat mengancam eksistensi manusia, melainkan juga harus difahami sebagai sebuah proses penyempurnaan diri, bahwa sehebat apapun dan sebanyak apapun kepemilikan materi yang dipunyai, harus dibatasi pada ketentuan yang berada diluar dirinya, dan dengan begitu membuat manusia sadar dan faham bahwa ia tidak bisa berbuat semena-mena dengan kedudukan dan kekayaannya. Pandemi juga mengajarkan manusia untuk mengingat kembali eksistensinya, bahwa ada masa dimana manusia harus masuk kewilayah immaterial, abstrak dan meloncat jauh diluar nalar dan logika.



Ibarat balapan F1, maka pandemi ini adalah pitstopnya. Dalam sebuah balapan, setiap tim memiliki pit stop masing-masing, lengkap dengan pit crew dan berbagai fasilitasnya. Sekilas pekerjaan ini nampak sepele. Mengganti roda, isi bahan bakar, dan sisanya hanya duduk santai sembari menunggu ada mobil yang masuk. Namun, dibalik semua itu tim di pit stop dituntut untuk bekerja supercepat, superdetail dan superfokus. Apabila ingin memenangkan perlombaan dalam kehidupan, kita juga harus melakukan pit-stop. Dalam kehidupan sehari-hari, pit-stop dapat mewujud dalam berbagai bentuk.



Mengikuti pelatihan, membaca buku, berdoa dengan penuh kesungguhan, bercengkerama dengan sahabat dan keluarga, serta aktifitas lain yang keluar dari rutinitas harian. Pit-stop membantu kita meraih kehidupan yang utuh. Saatnya dimasa pandemi ini kita melakukan pit-stop. Renungkanlah untuk apa Anda hidup? Mau kemana setelah kehidupan? Sudah berapa lama usia perkawinan Anda? Lalu, hal terbaik apa yang pernah Anda berikan kepada pasangan hidup Anda? Luangkanlah sejenak waktu (pit-stop) untuk mendengarkan celoteh dan cerita anak Anda dengan penuh perhatian. Antarkan dan dampingi mereka ke tempat yang mereka amat senangi. Berperilakulah seolah-olah kita adalah teman sepermainan buah hati kita.



Wallau A’lam Bisshawab.



Oleh: Dr. Qolbi Khoiri, M.Pd.I



Penulis adalah Ketua Program Doktor PAI IAIN Bengkulu.