Demokrasi Adalah Sebuah Proses,“Cara” Bukan “Tujuan”
Featured Image

Demokrasi Adalah Sebuah Proses,“Cara” Bukan “Tujuan”

Diposting pada June 11, 2020 oleh Penulis Tidak Diketahui

Oleh: Renaldy Eka Putra
Setelah lebih setengah Abad merdeka, bicara tentang demokrasi di negeri kita masih ibarat mengunjungi sebuah rumah antik. Misalnya rumah Thomas Jafferson, orang yang mengaku segan beragama, tapi sepenuhnya yakin kepada Tuhan yang maha Esa dan nilai-nilai universal. Dalam hal demokrasi, kita mungkin dapat memahami desain, tata ruang, dan susunan perabotannya, tapi belum tentu dapat dengan tepat mempunyai gambaran bagaimana penghuninya dulu hidup. Negara kita adalah negara demokrasi, sekurang-kurangnya itu yang menjadi asumsi kita semua. Cita-cita itu sudah menjadi tekad para pendiri bangsa ini, dan merupakan salah satu unsur dorongan batin mereka yang sangat kuat untuk berjuang merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan. perlu ditegaskan dari satu sudut pandang, demokrasi adalah suatu kategorisasi  yang dinamis, bukan statis. Ia senantiasa bergerak atau berubah, kadang-kadang negatif (mundur), kadang-kadang positif (berkembang maju). Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Willy Eichler (ideolog partai sosialis demokrat Jerman-SPD), demokrasi akhirnya menjadi sama dengan proses demokratisasi.

Demokrasi dan Kebebasan 

Suatu negara dapat dikatakan demokratis jika padanya terdapat proses-proses perkembangan menuju ke arah keadaan yang lebih baik dalam melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan asasi dan dalam memberi hak kepada masyarakat, baik individu maupun sosial untuk mewujudkan nilai-nilai itu.

“Check list” yang dapat digunakan untuk mengukur maju-mundurnya demokrasi ialah seberapa jauh bertambah atau berkurangnya kebebasan asasi, seperti kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul. Masing-masing dari ketiga pokok itu dapat diperinci lebih lanjut dalam kaitan nya dengan berbagai bidang kehidupan perseorangan dan kemasyarakatan. Seperti politik, ekonomi, kebudayaan, akademik, hukum (legal) dan seterusnya.

Sudut pandang demokrasi sebagai kategori dinamis memungkinkan terjadinya hal yang dapat disebut ironis, seperti jika sebuah negara yang disebut paling demokratis, katakanlah Amerika Serikat, justru akan dinilai tidak lagi demokratis jika ia menunjukan gejala “kemandekan” dengan menghambat laju tuntutan dan pelaksanaan kebebasan-kebebasan asasi dari warganya. Apalagi jika kategori pengujian kedemokrasian negara itu dimasukan pula unsur seberapa jauh terlaksana dengan nyata prinsip kesamaan umat manusia, maka Amerika dan Negara-negara barat lainnya menjadi kurang demokratis. Sebab di Negara-negara barat itu masih banyak tampak paham warna kulit atau rasialisme dalam kehidupan sehari-sehari. Belakangan ini kita bisa saksikan Puluhan ribu orang telah berdemonstrasi di lebih dari 75 kota di AS untuk memprotes kematian George Floyd, seorang pria keturunan Afrika yang meninggal pada 25 Mei di Minneapolis ketika seorang polisi berkulit putih terus berlutut di lehernya, bahkan setelah dia memohon karena dia tidak bisa bernapas. Protes kini telah menyebar lebih jauh ke kota-kota di seluruh dunia termasuk London, Berlin dan Auckland dan media sosial dipenuhi dengan kotak-kotak hitam dan pesan dukungan pada 2 Juni, sehari dijuluki #BlackoutTuesday.

Terlepas dari itu juga dapat disebut bahwa suatu Negara berkembang pun, dalam perspektif Eichler, mungkin harus dipandang sebagai lebih  “demokratis” jika padanya terjadi proses-proses perkembangan kemajuan sejati dalam mewujudkan dan melaksanakan kebebasan asasi, seperti kebebasan menyatakan pendapat, berserikat, dan berkumpul. Maka yang amat perlu diperhatikan dalam perspektif tentang demokrasi seperti itu ialah adanya pesan tentang pentingnya proses perkembangan, dan bahaya nya ialah kemandekan. Masyarakat demokratis cenderung ribut, tapi keributan dinilai pasti lebih baik dari pada ketenangan karena kemandekan.

Jika persoalan ini dibawa ke negeri kita, maka kita harus melihat ada-tidaknya proses-proses menuju kepada pelaksanaan check list demokrasi tersebut. Berdasarkan itu barangkali, dalam penglihatan Eichler, Indonesia digolongkan sebagai “negara demokratis”. Dengan mengatakan negara kita demokratis, maka kita menyisihkan ruang kebebasan bagi diri kita untuk betul-betul berfikir dan berprilaku demokratis dan mengharuskan semua komponen bangsa untuk berbuat serupa, khususnya dari mereka yang tergolong “penentu kecenderungan” (trend makers) dengan kekuasaan yang efektif.

Memaknai Ulang Demokrasi

Lalu pertanyaan nya bagaimana makna demokrasi? Persis seperti yang pernah dikatakan oleh salah seorang pemimpin kita bahwa keterbukaan adalah suatu “cara”, bukan “tujuan”. Demokrasi pun harus dipandang sebagai “cara” mencapai tujuan, dan bukan tujuan itu sendiri. Maka logikanya ialah bahwa suatu bentuk demokrasi tidak dapat diterapkan begitu saja secara kaku dan “dogmatis”, jika diperkirakan justru merusak atau mengganggu hasil-hasil positif perkembangan negara yang telah dicapai. Adalah absurd untuk melakukan hal yang demikian.

Karena yang esensial adalah proses, maka beberapa ahli, seperti Willy Eichler, berpendapat bahwa demokrasi bukanlah suatu nilai statis yang terletak di suatu tempat di depan kita, lalu kita bergerak menuju kesana untuk mencapainya. Bagi Eichler demokrasi adalah suatu nilai yang dinamis, karena nilai esensial nya adalah proses ke arah yang lebih maju dan lebih baik dibandingkan dengan yang sedang dialami oleh suatu masyarakat atau negara. Jadi Eichler berpendapat bahwa demokrasi adalah identik dengan demokratisasi. Yang penting adalah bahwa dalam suatu masyarakat atau negara terdapat proses yang terus-menerus, secara dinamis, dalam gerak perkembangan dan pertumbuhan ke arah yang lebih baik itu.

Karena pengertian demokrasi sebagai cara dan proses itu, maka tidaklah mengherankan bahwa pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi sangatlah beragam dari satu negara ke negara lainnya, misalnya, jika kita melihat negara-negara dengan sistem demokrasinya yang paling mantap dan mapan pada sekarang ini, maka berbeda dengan kesan sepintas kebanyakan orang, kita dapati kebanyakan justru berbentuk kerajaan, yaitu Inggris raya, Belanda, Belgia, Norwegia, Swedia, Denmark, Luxembourgh ditambah dengan Kanada, Australia, dan Selandia baru yang mengakui mahkota Inggris Raya sebagai kepala negara masing-masing. Beberapa negara berbentuk republik dalam jangka waktu lama memang sangat stabil, seperti Swiss, Irlandia dan Amerika Serikat.

Tetapi republik-republik demokratis lainnya pernah beberapa waktu yang lalu mengalami kegoncangan dalam tingkat tertentu, seperti Prancis, Jerman Barat, dan Itali. Sedangkan Jepang dan India merupakan negeri-negeri demokratis yang mapan setelah perang Dunia II. Jepang mempunyai segi keunikan karena sejauh ini merupakan satu-satunya negara non-Barat yang demokratis sekaligus maju industri nya. Dan India pun unik, karena biarpun negara ini demokratis, namun dari segi perkembangan ekonominya tergolong paling miskin di dunia.

Berdasarkan kenyataan itu, maka tidak salah jika kita bangsa indonesia juga mempunyai sistem demokrasi yang lebih sesuai dengan keadaan kita. Merupakan suatu hal yang masuk akal bahwa demokrasi di Indonesia adalah penerapan ide-ide demokrasi sejagat (universal) menurut kondisi indonesia dan tingkat perkembangannya.

Meskipun begitu, kiranya perlu disadari bahwa demokrasi sebagai “cara” atau “jalan” akan menentukan kualitas tujuan yang dicapai oleh suatu masyarakat. Suatu tujuan yang dicapai secara demokratis akan memiliki tingkat ke absahan yang lebih tinggi daripada yang dicapai secara tidak demokratis. Apalagi, seperti dikatakan Albert Comus, tidak boleh ada pertentangan antara cara dan tujuan. Jika tujuan membenarkan cara yang digunakan, maka cara yang digunakan itu sendiri ikut membenarkan tujuan yang dicapai. Inilah sendi pandangan hidup demokratis. “pandangan hidup demokratis bertumpu dengan teguh di atas asumsi bahwa cara harus bersesuaian dengan tujuan. Ketentuan inilah, jika dipraktikan, yang akan memancarkan tingkah laku demokratis dan membentuk moralitas demokratis.

Seperti yang didendangkan oleh Ferdinand La Salle, “janganlah kami hanya ditunjukan hanya tujuan, tanpa cara. Sebab tujuan dan cara di dunia ini sedimikian terjalin erat. Mengubah salah satu berarti mengubah satunya lagi juga, setiap cara yang berbeda akan menampakan tujuan lain”.

Dalam pancasila, prinsip demokrasi itu terungkap dalam sila ke-empat. Pancasila dapat dilihat terdiri dari sila pertama sebagai sila dasar, sila kedua sebagai pancaran sila pertama, sila ketiga sebagai wahana, sila ke empat sebagai cara, dan sila kelima sebagai tujuan. Namun kita di ajari dan memang benar untuk memandang seluruh nilai itu sebagai satu-kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisah-pisahkan. Maka berarti bahwa antara “cara” dan “tujuan” pun tidak bisa dipisah-pisahkan satu dari yang lainnya.

Penulis adalah Ketua Umum Himka-Lampung periode 2017-2019, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Raden Intan Lampung.

Kategori: Opini