Gaya Berpolitik Ala ULAMA ASKETIS vs ULAMA POLITIS

Gaya Berpolitik Ala ULAMA ASKETIS vs ULAMA POLITIS

Diposting pada June 7, 2018 oleh Penulis Tidak Diketahui

Indo Barat-ULAMA ASKETIS  yaitu ulama yang lebih memilih mengurusi umat, memberdayakan warga, dan menjauhi hingar-bingar dunia politik praktis kekuasaan yang korup, harus diakui, ulama jenis ini kini populasinya semakin menurun dan nyaris menjadi ” makhluk langka ” sehingga perlu dilindungi supaya tidak terancam punah.

Penting untuk dicatat, ulama asketis ini bukan berarti tidak berpolitik, mereka juga berpolitik tetapi menggunakan mekanisme, cara, strategi, taktik, dan tujuan yang berbeda dengan “ULAMA POLITIK” yaitu ulama (dan tokoh agama manapun) yang secara terang-terangan maupun “malu-malu kucing ” terjun di dunia politik praktis.

Dalam sejarahnya, memang ada bermacam-macam ” politik ulama ” : ada yang pro dan anti-politik-kekuasaan, tapi ada pula yang memilih di ” jalur abu-abu ” (istilahnya dulu “akomodatif-kritis” akomodatif tetapi tetap kritis terhadap pemerintah).

Simaklah hiruk-pikuk para tokoh agama dan ulama menjelang pemilu saat ini, karena didorong oleh ” nafsu ”, ambisi, keinginan, dan kepentingan tertentu (baik kepentingan politik-ekonomi maupun kepentingan ideologi-keagamaan), mereka rela menjadi ” bamper ” paslon tertentu.

Mereka rela ” berkelahi ” dan “berperang”  (psywar) dengan para tokoh agama dan ulama yang mendukung paslon lain, demi memuluskan jalan bagi paslon yang mereka dukung itu, mereka juga tidak segan-segan menyitir ayat-ayat dan teks-teks keagamaan sebagai “legitimasi teologis ”.

Tidak puas dengan ayat-ayat Kita Suci, pendapat para ulama ” zaman baheula ” maupun ulama kesohor kontemporer, apalagi dari kawasan Timur Tengah, juga ikut disitir guna menyokong pendapat mereka.

Ayat dan Teks apapun (baik itu Firman Tuhan, sabda nabi, ataupun perkataan para ulama/sarjana agama) memang tidak bertulang, sehingga mudah untuk dibelak-belokkan dan ditafsiri sesuai dengan selera dan kepentingan pembacanya.

Naifnya atau tragisnya, para “ulama politik” ini saling mengklaim bahwa ayat, hadits, dan pendapat ulama/tokoh agama yang mereka pilih, seleksi, dan disitir itulah yang paling shahih, paling valid, paling benar, paling aurat, dan paling agamis.

Penulis: Freddy Watania
Editor: Riki Susanto

Kategori: Opini