Globalisasi dan Tantangan Demokrasi di Asia
Featured Image

Globalisasi dan Tantangan Demokrasi di Asia

Diposting pada June 18, 2019 oleh Penulis Tidak Diketahui

Oleh: Amrulah Boerman*

“Demokrasi itu merupakan bentuk pemerintahan yang paling buruk tetapi masalahnya adalah bentuk lainnya tidak lebih baik dari demokrasi.” (Winston Churcill)

Prolog

Isu-Isu Globalisasi telah menjadi salah satu topik pembicaraan yang menghiasi diskursus mutakhir dalam jaga raya negara-negara di dunia. Pada era modern sekarang ini globalisasi merupakan konsep yang dapat mempengaruh dalam pergumulan berbangsa dan bernegara (nition state). Hampir semua sisi kehidupan masyarakat terkena dampak dari konsep tersebut, baik dari lingkungan, perilaku sosial, kesejahteraan, dinamika politik, dll.

Hubungan globalisasi dan demokrasi memunculkan perdebatan bertuju pada dua permasalahan yang bertolak belakang. Pendapat pertama, mengatakan bahwa globalisasi mengancam demokrasi. Sebaliknya, pendapat kedua menyatakan bahwa globalisasi mengembangkan demokrasi. Untuk mengukur hal itu tergantung pada seberapa besar pengaruh  yang diberikan globalisasi kepada demokrasi. Globalisasi akan dianggap sebagai pendorong atau penghambat demokrasi tergantung pada apakah globalisasi mendorong terciptanya otonomi dan kesetaraan yang lebih luas diantara individu-individu dan masyarakat tatanan kehidupan bernegara di Asia. 

Sejak era tahun 1980-an, Konsep globalisasi mulai banyak dibicarakan yang menimbulkan dampak besar terhadap seluruh dimensi kehidupan manusia. Dalam konteks politik di negara-negara sedang berkembang termasuk di Asia, globalisasi telah mengubah suatu kekuasaan politik negara modern dan warga negara. Beberapa ilmuan seperti (Giddens, 1999), (Held, 1995), (Fukuyama, 2016), (Bauman, 1998), (Beck, 2000) menyatakan bahwa globalisasi pasar bebas akan mendorong demokratisasi politik. Sistem demokrasi dalam sejarahnya mencatat kemenangan historis atas sistem lainnya dalam menjalankan roda pemerintahan. Globalisasi dan kesejahteraan negara merupakan faktor yang memberi warna dalam mendorong demokratisasi dewasa ini.

Tujuan utama dari demokrasi adalah dapat menghadirkan kesejahteraan dan kemandirian suatu bangsa. Disaat yang sama, globalisasi hadir dengan agenda utama liberalisasi dan perdagangan bebas. Globalisasi dengan pasar bebasnya akan memberikan ruang kegiatan ekonomi yang lebih luas dan kompotitif. Silsilah kedua sistem ini lebih memberikan suatu harapan akan tumbuhnya perekonomian baru suatu negara menjadi lebih baik, serta meningkatkan hak-hak individu. Olehnya itu, demokrasi akan berkembang lebih baik jika menganut paham kebebasan dalam bernegara. Sehingga dengan pandangan ini, globalisasi memberikan harapan bahwa demokrasi akan dapat bersinergi positif dengan kapitalisme sebagai ekses-ekses dari globalisasi dalam lingkup kesejahteraan negara bangsa.

Globalisasi menurut (Huntington, 1997) diyakini sebagai pendorong gelombang demokratisasi dunia sekarang ini khususnya di era multidimensi, meskipun di sisi lain terdapat pandangan bahwa dampak ekonomi-politik dari globalisasi justru mengancam masa depan demokrasi. Terjadinya dinamika dalam struktur ekonomi-politik global negara-negara berkembang tidak lepas dari pengaruh globalisasi. Pengaruh globalisasi ini berdampak pada negara-negara bahwa, negara tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam ekonomi-politik internasional. Perannya telah digantikan oleh aktor-aktor baru yang bernaung di bawah bendera lembaga-lembaga internasional, perusahaan-perusahaan multinasional, maupun negara-negara yang menganut paham sistem keterbukaan.

Perubahan-perubahan besar yang terjadi dengan menguatnya globalisasi dan kapitalisme membawa pergeseran penting bagi gelombang “demokratisasi” di seluruh dunia. Tulisan (Linz & Stepan, 1996) yang menegaskan bahwa demokrasi adalah the only game in town menjadikan demokrasi sebagai sebuah agenda baru bagi setiap negara berkembang, hari ini dan di masa depan. Pertanyaan-pertanyaan tentang demokrasi merentang dari pertanyaan yang sifatnya politis, praksis pembangunan, hingga filosofis. Menyikapi perkembangan nasional dan internasional yang semakin dinamis, negara-negara yang sedang berkembang sebagai negara yang berdaulat tidak bisa terus berdiam diri tanpa melakukan sesuatu. Pengaruh utama gobalisasi adalah meningkatnya arus informasi, uang dan barang melalui perusahaan multinasional. perubahan dan pembaharuan.Tantangan yang dihadapi bangsa dan negara semakin berat, karena perkembangan dunia yang semakin men-global telah menempatkan negara-negara di dunia menjadi semakin dekat dan nyaris tanpa batas. Kenyataan demikian, bagi negara-negara Asia, tidak terkecuali, bukan saja merupakan tantangan tapi juga ancaman dan peluang yang besar, tidak bisa menghindar atau bahkan berkelit sekalipun. Artinya senang atau tidak senang, mau tidak mau harus berhadapan dengan masyarakat global. 

Negara-negara demokrasi baru termasuk Asia selalu dihadapkan pada upaya pencarian model demokrasi yang tepat, dan di sisi lain, demokrasi sebenarnya menghadapi pertanyaan besar dari publik. Demokrasi seperti apa yang pas diterapkan di negara-negara Dunia Ketiga? Apakah demokrasi liberal ala Barat memang merupakan satu-satunya demokrasi yang harus diterapkan di Dunia Ketiga? Mengapa demokrasi yang sebelumnya diperjuangkan tetapi kini setelah diraih ia justru diikuti dengan kekacauan? Dalam konteks ini ada juga benturan antara demokratisasi dengan kemiskinan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Bisakah antara demokratisasi dengan kemakmuran-kesejahteraan berjalan bersama? Sejauh mana demokratisasi menjanjikan kesejahteraan? Bukankah demokratisasi bakal membuahkan kemiskinan?

Dengan melihat globalisasi terhadap perkembangan demokrasi sekarang ini dinegara-negara berkembang menjadi menarik untuk mendiskusikan bagaimana hubungan globalisasi dan demokrasi di era sekarang. Sehingga benang merah yang lahir dalam kerangka konsep tersebut adalah: bagaimana globalisasi berpengaruh terhadap proses demokrasi di Asia ? 

Kerangka Konseptual

Teori globalissi menurut (Robinson, 2007) juga muncul sebagai akbiat dari serangkaian perkembangan internal teori sosial, khusunya reaksi terhadap perspektif terdahulu seperti teori modernisasi. Diantara karakteristek teori ini adalah bias Western-nya disesuaikan dengan perkembangan di Barat dan bahwa ide di luar dunia Barat tak punya pilihan kecuali menyesuaiakan diri dengan ide Barat. Semenatara ada banyak versi teori globalisasi yang berbeda-beda, ada kecenderungan terjadi pergeseran dramatis dari fokus ke Barat ke pengkajian proses transnasional yang mengalir kearah yang berbeda-beda pengkajian terhadap negara atau kawasan otonomi dan independen lainnya di seluruh dunia (Mbembe, Rekacewicz, Huyssen, Mandémory, & Appadurai, 2013).

Perbenturan utama yang terjadi ditingkat global dewasa ini adalah antara fundamentalis dan kosmopolitanisme. Pada akhirnya Giddens melihat kemunculan “masyarakat kosmopolitan global.” Tetapi, bahkan kekuatan utama yang menentangnya fundamentalisme merupakan produk dari globalisasi. Lebih jauh fundamentalisme menggunakan kekuatan-kekuatan global (misalnya, media masa) untuk memperluas tujuan-tujuannya. Fundamentalisme dapat mengambil bermacam-macam bentuk agama, etnis, nasionalis, politik. Tetapi apapun bentuknya, Giddens berpikir adalah benar untuk menganggap adalah benar sebuah problem dari eksis globalisasi (Giddens, 1999).

Diskursus Globalisasi menurt (Beck, 2000) membedakan anatar globalisme, dan globalitas (globality). Globalisme adalah pandangan bahwa dunia didominasi oleh per ekonomian dan kita menyaksikan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberal yang menopangnya. Menurut Beck, ini melibatkan pemikiran linier dan monokausal. Multidemensionalitas dari perkembangan global-ekologi, politik, kultur, dan masyarakat sipil direduksi menjadi demensi ekonomi saja. Dan demensi ekonomi tersebut dilihat lagi-lagi secara keliru, bergerak dalam arah linier menuju kepada semakin menguatnya  ketergantungan pada pasar dunia.

Struktur ekonomi politik global sekarang ini telah mengalami banyak perubahan. Dimana dalam konteks ini yang menjadi aktor tunggal dalam ekonomi politik Internasional tidak lagi Negara bangsa melainkan lembaga-lembaga internasional dan negara-negara kawasan. saat ini diperlukan suatu definisi baru mengenai demokrasi, hal ini dikarenakan konsep demokrasi seperti adanya lembaga-lembaga perwakilan, pemilihan umum yang bebas dan adil, serta partisipasi warga negara, pada dasarnya ditujukan dalam kerangka negara teritorial yang berdaulat sehingga ketika struktur ekonomi politik internasional mengalami perubahan, menurut garis pemikiran kaum globalis, menilai bahwa demokrasi konvensional tidak lagi memadai. Dengan adanya kebebasan, mendorong lembaga-lembaga internasional yang sangat berpengaruh seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia di luar negara bangsa untuk mempengaruhi negara-negara dibelahan dunia. Bahkan, dalam kasus tertentu, lembaga-lembaga ini mempunyai kekuatan pemaksa yang sangat kuat terutama bagi negara-negara yang mengalami krisis ekonomi.

Globalisasi merupakan era dimana proses transformasi informasi antara negara di dunia yang dimana bertujuan dalam mewujudkan penyatuan negara-negara dunia dalam ruang lingkup yang tanpa batas. Globalisasi dimaknai sebagai suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Era globalisasi juga menandai tak terbatasnya suatu negara atau lembaga internasional untuk melakukan semacam ekspansi ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan perdagangan terhadap suatu negara. Keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia merupakan bagian dari inti globalisasi.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Proses Demokrasi di Asia 

Demokrasi menjadi salah satu komponen dari perkembangan globalisasi yang digerakkan oleh liberalisasi perdagangan, kapitalisme global, yang berjalan seiring dengan bangkitnya kembali libertarianisme dan kebangkitan ekomomi klasik. (Fukuyama, 2016) mengatakan bahwa akhir dari peradaban adalah kapitalisme, (Lesther, 1996) menambahkan bahwa persaingan kini bukanlah kapitalis dengan sosialis, namun kapitalis dengan kapitalis, dan (Heilbrowner, 1995) dengan tegas mengatakan bahwa kapitalisme akan menjadi ideologi peradaban abad 21 dan bahkan ke depan, karena belum ada konsep pengganti yang lebih baik dan lebih menarik. Sementara itu (Firedman, 2000) mengatakan bahwa bangsa yang paling cocok untuk tatanan global hanyalah Amerika (Serikat), jadi tidak aneh jika globalisasi identik dengan Amerikanisasi, dan Amerika identik dengan kapitalisme-libertarianisme-demokrasi (liberal). Seperti kata  (Boaz, 1998)  bahwa liberatarianisme bangkit lagi karena fasisme, komunisme, sosialisme, dan negara kesejahteraan telah terbukti gagal. 

Trajektori demokratisasi di Dunia Ketiga, terutama Asia, memang  tidak sama persis dengan yang  terjadi  di Eropa  atau Amerika, sehingga tantangan dan pertanyaan di atas muncul secara serius di Asia. Demokrasi liberal yang kokoh di Barat  umumnya ditopang kematangan ekonomi kapitalis maupun kelas menengah dan masyarakat sipil yang kuat. Di Asia dan Afrika, demokrasi liberal mengalami masalah yang serius, bahkan mengalami krisis dan cenderung tidak cocok untuk diterapkan. Model demokrasi liberal  (pemilihan umum, partai politik dan parlemen) merupakan sistem yang modern tetapi di Asia dan Afrika sistem itu dikelola oleh orang-orang primitif dan dibajak oleh orang-orang kuat. Mengapa berbeda, dan bagaimana trajektori demokratisasi yang berkembang? Di Asia, sebelum dekade 1980-an, ditandai dengan sistem pemerintahan, gaya  kepemimpinan, sistem ekonomi dan nilai-nilai sosial yang berbeda  dengan di Barat (Grugel, 2002). Tidak hanya Cina yang bersifat sosialis, tetapi kapitalisme Asia jelas sangat berbeda dengan varian Anglo Amerika atau Eropa, dimana negara-negara Asia umumnya memainkan peran besar dalam membentuk dan mengarahkan kapitalisme. Pada saat yang sama Asian Values (konsensus, harmoni  sosial, ketertiban, penghormatan terhadap otoritas, hirarkhi, dan lain-lain) telah lama membentuk kultur politik, gaya kepemimpinan, dan relasi sosial, meski menurut (Freeman, 2011), nilai-nilai Asia ini identik dengan konservatisme Eropa yang bertentangan dengan demokrasi. Bahkan secara empirik nilai-nilai Asia kerap digunakan sebagai tameng bagi elite untuk memelihara kekuasaan yang otoriter seperti di Singapore dan Malaysia. 

Tetapi poin terpenting sebenarnya bukan sekadar kesesuasian antara nilai-nilai Asia dengan demokrasi liberal. Ada arugumen yang menyatakan bahwa tradisi-tradisi budaya yang besar dalam sejarah dunia sangat bervariasi dalam hal seberapa jauh sikap, nilai, keprcayaan dan pola perilaku yang berkaitan di dalam tradisi-tradisi  yang menunjang perkembangan demokrasi di Asia. Suatu budaya yang sangat tidak demokratis  akan menghambat penyebaran norma-norma demokratis dalam masyarakat itu, tidak memberikan lgitimasi pada lembaga-lembaga demokrasi, dengan demikian sangat menyulitkan, kalau tidak bisa dikatakan menghalangi muncul dan berfungsinyanya lembaga-lembaga demokrasi (Huntington, 1997, p. 358).

Secara struktural, tantangan konsolidasi demokrasi di Asia bukan terletak pada isu melembagakan demokrasi liberal dalam konteks nilai-nilai sosial yang berbeda, melainkan pada isu memperkuat kembali peran negara. Saya sangat yakin bahwa demokrasi prosedural yang dibingkai dengan tradisi liberal di Asia tidak akan mempunyai makna bila tidak ditopang dengan negara kuat (strong state) jangan anda bayangkan bahwa strong state identik dengan Orde Baru di Indonesia yang otoriter, represif dan menindas. Orde Baru memang memiliki formasi negara yang sangat kuat, tetapi sebenarnya kapasitasnya sangat lemah dalam mewujudkan cita-cita mulia (kesejahteraan dan keadilan), sebab pengelolaan politiknya selalu bersifat darurat (dalam rangka mempertahankan kekuasaan elite) dan negara digerogoti oleh praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang membuat negara menjadi lembek (weak state). 

Dalam konteks demokratisasi, saya membayangkan strong state dalam pengertian democratic developmental state (negara pembangunan yang demokratis). Negara model ini mempunyai kapasitas yang kuat menegakkan rule of law untuk menjamin law and order, mencapai tujuan-tujuan pembangunan untuk kepentingan social welfare secara berkelanjutan, dan penyelenggaraan pemerintahan dikelola secara bersih. Negara pembangunan yang demokratis diperlukan oleh kelompok- kelompok sosial marginal untuk mewujudkan kesejahteraan hidupnya. Karena itu negara pembangunan harus bersifat partisipatif, menjamin keterlibat masyarakat, terutama kaum tertindas, dalam proses pembuatan kebijakan. Keterlibatan masyarakat luas bukan tentu bakal menjauhkan negara dari dominasi kelompok-kelompok sosial yang memiliki privilege (Leftwich, 1996).

Pandangan ini  paralel dengan semangat membawa negara lebih dekat pada masyarakat lokal yang mempunyai tiga keyakinan utama. Pertama, memadukan peranan dan kapasitas negara dalam melakukan dan promosi aksi kolektif dalam proses pembangunan politik, transformasi ekonomi dan redistribusi sosial, misalnya dalam konteks pemeliharaan law and order, kesehatan dan pendidikan publik, infrastruktur dasar, dan lain-lain, sesuai dengan tuntutan masyarakat. Kedua, perlunya membangkitkan kapasitas negara lewat penguatan institusi publik. Strategi ini mencakup desain peraturan yang efektif, kontrol terhadap penggunaan sarana pemaksa, pemberantasan korupsi, peningkatan kinerja institusi- institusi birokrasi negara, perbaikan gaji pegawai, penguatan lembaga peradilan, profesionalisme aparat kemanan, dan lain-lain. Ketiga, memadukan antara kapasitas negara, desentralisasi dan partisipasi masyarakat (Ladiqi & Wekke, 2018).

Keyakinan di atas bukan sekadar teoretis. Korea Selatan, Taiwan dan Thailand secara berkelanjutan menerapkan model democratic developmental state itu. Di ketiga negeri ini, antara demokrasi  dan pembangunan tumbuh bersamaan dan berkelanjutan, melampaui (beyond) isu-isu pemilihan umum, perwakilan dan kepartaian. Singapore dan Malaysia juga menjadi contoh yang baik. Kedua negeri ini memang termasuk kategori otoritarian kalau dilihat dari kacamata liberal karena tidak membuka kebebasan bagi warganya. Singapore dan Malaysia memang bukanlah pemerintahan dari dan oleh rakyat, tetapi keduanya memegang prinsip pemerintahan untuk rakyat. Kuatnya kapasitas negara,  tegaknya rule of law, serta kepemimpinan yang kuat dan visioner, merupakan ciri khas Malaysia dan Singapura, yang memungkinkan kedua negeri itu mewujudkan human well being bagi warganya secara berkelanjutan.

Negara-negara di Asia pasca Perang Dunia II banyak yang meniru kerangka demokrasi negara-negara di Barat. Demokrasi menjadi pilihan selepas kolonialisme Barat dengan pandangan bahwa sistem politik modern ini akan menjamin kekuatan dan kesejahteraan. Pilihan atas sistem demokrasi ini diperkuat dengan peningkatan globalisasi dalam beberapa dasa warsa ini.

Namun demikian sebagian negara masih menganut sistem otoriter seperti di Korea Utara, system demokrasi berasaskan ideologi komunis seperti di Tiongkok dan Vietnam. Ada pula negara yang menganut demokrasi tetapi mempertahankan monarki seperti Thailand dan kesultanan seperti Malaysia. Indonesia memeluk demokrasi dengan berbagai penafsiran sejak merdeka 1945 seperti halnya juga terjadi di India.

Demokrasi di negara-negara Asia terjadi terutama setelah lepas dari penjajahan usai Perang Dunia II (Harris, 2002). Untuk melihat bagaimana relasi antara globalisasi dan demokratisasi di Asia terdapat beberapa kelompok dengan karakter masing-masing. Kelompok pertama negara negara di Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan termasuk Hongkong dan Taiwan yang merangkul demokrasi pasca Perang Dunia II. Bahkan Jepang di masa Kekaisaran Hirohito terpaksa mengikuti petunjuk Amerika Serikat karena kalah pada Perang Dunia II. Keputusan Jepang menanggalkan rejim militer kemudian mengikuti apa yang disebut demokrasi seperti  yang didesakkan  Amerika Serikat menunjukkan bahwa Jepang memilih jalan tersebut tidak dalam kondisi bebas. Namun dalam perkembangannya justru Jepang dapat memanfaatkan globalisasi tanpa harus kehilangan jati dirinya.

Jepang, Korea Selatan dan Taiwan bisa dikatakan sebagai negara-negara di Asia yang mempraktekan demokrasi  liberal (Saxer, 2013). Hal ini terlihat  dari pemilihan anggota parlemen dan pemilihan presiden atau perdana  menteri  yang berjalan secara berkala. Namun yang menonjol adalah negara-negara ini memanfaatkan globalisasi untuk mengakses pasar internasional ke sesama negara Asia bahkan sampai ke Amerika, Eropa dan Afrika. Jika mengutip pendapat yang pro bahwa globalisasi mempengaruhi demokrasi, tiga negara ini malah memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan nasionalnya.

Kelompok kedua adalah negara yang berpenduduk besar seperti Tiongkok dan India. Di Tiongkok, globalisasi diberi tempat dengan hanya memanfaatkan aspek ekonominya dimana investasi langsung (foreign direct investment) dipacu untuk mempercepat pembangunan dalam negerinya, membuka lapangan kerja sekaligus belajar dari perusahaan transnasional asal Barat dan Jepang. Pola di Tiongkok ini menjadikan pertumbuhan ekonomi cepat selama sekitar enam persen selama tahun 1990-an dan awal 2000-an. Ini membuktikan globalisasi ekonomi telah mengubah peta kekuatan Tiongkok di mata dunia.

Namun Tiongkok tidak menyerahkan semuanya kepada kekuatan globalisasi seperti dijelaskan sejumlah pakar yang dapat memarginalkan kaum miskin dan menyebabkan jurang perbedaan kaya miskin. Tiongkok membuat model sendiri demokrasinya yang melekat kepada ajaran Marxisme. Partai Komunis Tiongkok dipertahankan sebagai otoritas yang berkuasa penuh di negeri yang berpenduduk lebih dari satu milyar ini. Dengan kekuasaan politik yang mutlak yang artinya tidak diberlakukan demokrasi liberal maka Tiongkok memiliki kekuatan mengendalikan ketidakpuasan, mengatur lalu lintas informasi  dan juga kelompok-kelompok civil society (Friedman, 2002).

Berbeda dengan Tiongkok, India sudah juga memanfaatkan globalisasi ekonomi untuk membuat masyarakat berdaya. India benar-benar menjadi negara demokrasi dengan penduduk terbesar di dunia sehingga fungsi perwakilan dan sistem pemerintahannya berjalan berasaskan kepada  prinsip-prinsip demokrasi liberal. Namun karena sistem demokrasi di India masih diwarnai oleh kekerasan maka laju perkembangan ekonominya tidak sekuat Tiongkok. Globalisasi memberikan ruang untuk berkembang di bidang ekonomi meski tidak secepat Tiongkok namun kualitas demokrasinya bisa disebut lebih baik dari Tiongkok.

Kelompok lainnya adalah negara-negara di Asia Tenggara. Indonesia bisa dijadikan salah satu contoh bagaimana globalisasi telah memberikan tekanan kepada proses demokratisasinya. Sebagai negara yang masuk demokrasi pada penghujung demokratisasi di dunia, Indonesia tidak serta merta mempraktekan demokrasi penuh karena selama di bawah kekuasaan Presiden Soekarno masih dalam masa transisi dan pada tiga dasa warsa era Presiden Soeharto, demokrasi menjadi label saja tanpa dipraktekan secara menyeluruh. Globalisasi di Indonesia dimanfaatkan untuk keperluan sekelompok penguasa saja tidak sepenuhnya dinikmati masyarakat. Pasca reformasi 1998 saat sistem demokrasi benar-benar tumbuh, Indonesia belum mendapatkan hasil secara ekonomi dari arus globalisasi dunia, dan bahkan ekonomi Indonesia tidak bergerak mencapai 7 % dan berkisar antara 4-6 % ditambah lagi dengan kondisi kemiskinan secara mikro tidak berkurang dan hutang luar negeri semakin meningkat.

Beberapa negara Asia seperti Vietnam, Laos dan Myanmar tidak begitu merasakan dampak globalisasi terhadap kehidupan demokrasinya. Myanmar yang mendapat tekanan Barat untuk syistem demokrasinya akhirnya membuka pintunya ketika Aung San Suu Kyi dimasukkan dalam sistem pemerintahan. Sedangkan Thailand masih mengikuti sistem monarki konstitusional sehingga globalisasi tidak banyak berpengaruh kepada kehidupan demokrasinya. Malaysia menyambut globalisasi tanpa melepaskan diri dari demokrasi yang berbasiskan perkauman karena demografinya antara Melayu, Tionghoa dan India. Singapura bisa dikatakan menerima globalisasi dan bahkan memanfaatkan globalisasi terutama di industri jasa dan investasi namun untuk nilai-nilai demokrasi negara pulau ini menjauhkan diri dari demokrasi liberal seperti yang dianut Filipina.

Demokrasi Memburuk di Asia Tenggara Dewasa Ini

Negara-negara Asia Tenggara pada tahun 2018 mengalami demokrasi yang terus memburuk. Kamboja, Filipina, Thailand, Myanmar, dan bahkan Indonesia, mencontohkan kemunduran demokrasi yang berkelanjutan. Selain kemunduran pada masalah kebebasan pers, Asia Tenggara juga menyaksikan kemunduran terkait hak dan kebebasan di banyak daerah lain pada tahun 2018, dengan Malaysia sebagai pengecualian untuk tren ini. Kamboja, Filipina, Thailand, Myanmar, dan bahkan Indonesia, mencontohkan kemunduran demokrasi yang berkelanjutan. Kamboja jelas-jelas menjadi negara satu partai setelah pemilihan palsu pada bulan Juli, meskipun pada akhir tahun, Hun Sen dan Partai Rakyat Kamboja (CPP) di bawah tekanan dari pemerintah asing-sedikit mengendurkan tekanan mereka pada oposisi dan masyarakat sipil. Namun, pelonggaran ini mungkin hanya cara meyakinkan donor besar asing untuk tidak menjatuhkan sanksi lebih keras terhadap Kamboja, dan bukan benar-benar perubahan dalam cara Hun Sen memperlakukan oposisi atau masyarakat sipil.

Sementara itu, junta Thailand melakukan apa saja untuk mencegah oposisi politik untuk bersatu. Negara itu melarang partai politik mengorganisasi dirinya di sebagian besar waktu sebelum pemilu pada Februari 2019, menempatkan sebagian besar partai pada posisi yang kurang menguntungkan sebelum pemilu. Larangan itu baru dicabut pada bulan Desember.

Di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte menindak keras kebebasan pers-seperti mencoba mematikan Rappler, salah satu outlet berita independen paling terkenal di negara itu. Selain itu, dia juga tampaknya mencoba untuk mengintimidasi gerai jurnalisme lainnya, dan telah melayangkan rencana untuk meluncurkan regu pembunuh di luar hukum yang lebih banyak, di samping mereka yang telah ditugaskan untuk memusnahkan tersangka narkoba regu baru ini katanya akan menyerang siapa pun yang terkait dengan kelompok komunis pemberontak. Duterte juga terus melemahkan independensi peradilan dan kekuatan politik oposisi.

Di Laos di mana kepemimpinan baru negara itu telah berjanji untuk mengambil langkah-langkah sulit untuk membasmi korupsi—ada tanda-tanda kemajuan dalam memerangi korupsi, termasuk penembakan dua gubernur provinsi yang diduga terlibat dalam korupsi. Namun secara keseluruhan, kampanye anti-korupsi hanya membuat sedikit terobosan, dan janji-janji oleh kepemimpinan baru untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas tidak memiliki efek nyata, pada apa yang tetap menjadi pemerintahan yang sangat otoriter dan tertutup.

Dan di Myanmar, pemerintah National League for Democracy/Aung San Suu Kyi telah membuktikan kekecewaan besar-besaran, mengawasi reformasi demokrasi yang terhenti, kemunduran kebebasan pers, dan kebijakan pembumihangusan terhadap Rohingya di Myanmar barat. Namun, tahun 2019 mungkin tidak terlalu suram untuk hak dan kebebasan di Asia Tenggara. Meskipun junta Thailand telah berusaha untuk mengelola pemilu secara bertahap di bulan Februari, untuk memastikan bahwa hasilnya menguntungkan bagi militer dan bahkan mungkin menaikkan mantan jenderal sebagai perdana menteri namun mereka tidak dapat sepenuhnya mengendalikan pemilu yang sebenarnya. 

Ada banyak alasan untuk meyakini bahwa, meskipun pemilu Thailand tidak akan sepenuhnya adil seiring militer berusaha untuk condong terhadap Partai Puea Thai yang lama berukasa-namun Hari Pemilu yang sebenarnya akan bebas, yang menandai beberapa kemajuan setelah hampir lima tahun pemerintahan militer. Selain itu, pemilu membawa beberapa tingkat ketidakpastian, dan ada kemungkinan bahwa pemungutan suara akan menghasilkan parlemen yang memiliki otoritas nyata dan legitimasi rakyat, dan mengembalikan negara tersebut pada jalur menuju pemerintahan yang demokratis.

Ada harapan lain di tahun 2019 untuk hak dan kebebasan di wilayah ini. Sebuah pemilu di Indonesia dapat menunjukkan konsolidasi demokratis yang berkelanjutan di sana, bahkan meskipun tindakan Jokowi semakin otoriter dalam satu tahun terakhir, dan terlepas dari pemilihan seorang ulama sebagai pasangannya, di mana ia di masa lalu telah membuat pernyataan keras tentang berbagai kelompok minoritas di Indonesia. Tanggapannya terhadap meningkatnya kekuatan Islam yang identik dengan identitas, sebagian besar bersifat reaktif. Jika negara mayoritas Muslim terpadat di dunia ini menderita kemunduran demokrasi yang serius, ini akan menjadi pukulan signifikan terhadap prospek global untuk demokrasi. Kemunduran demokrasi di Indonesia sudah tampak dengan beberapa kecurangan yang kasat mata sebelum hari pencoblosan seperti pertama, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang bermasalah yang disenyalir banyaknya pemilih siluman yang sudah dilaporkan ke Bawaslu dan KPU oleh Pihak Prabowa-Sandi yang tidak direspons baik oleh KPU. Kedua, kotak suara kardus yang mudah dia sobek sehingga keamanan surat suara sangat rawan manipulasi dan sudah di senyalir oleh para pengamat akan banyak terjadi kecurangan, dan terbukti. Ketiga, sebelum pemilu 17 April 2019 terkuaknya berita di Malaysia surat suara di cebolos oleh oknum petugas pemilu, ini bukti-bukti kecurangan yang kasat mata sebelum pencoblosan akan tetapi tidak ada penyelesaian secara tuntas oleh pihak KPU.

Setelah pencoblosan tanggal 17 April 2019, semua lembaga survei yang melakukan quick count bersepakat hasilnya sama memenangkan kubu Jokowi Amin dan di tayangkan oleh TV Nasional sontak reaksi dari kubu Prabowo Sandi bahwa lembaga yang melakukan quick count melakukan salah besar karena tayangan di Televisi-Televisi Nasional tersebut tidak susai dg real cout di pihak Prabowo-Sandi, belum usai masalah quick count muncul Situng KPU yang banyak kesalahan penginfutan data yang disenyalir menambah dan mengurangi dari hasil C1. Di tambahlagi dengan kecurangan-kecurangan seperti kertas suara yg sudah tercoblos, ditambahlagi banyaknya anggota KPPS yang meninggal sampai saat ini lebih dari 500 orang yang meninggal. Dari catatan di atas bahwa memasuki 2019 demokrasi di Asia Tenggara pada umumnya mundur terutama di Indonesia. Dan sekarang Indonesia di ambang perpecahan dikarenakan sikap otoreter pemerintah yang menguasai semua aparatur sipil dan militer yang disenyalir tidak indipenden menambah catatan demokrasi yang suram di Indonesia.

Pemerintah Malaysia yang melakukan Pilpres dengan damai dan terpilihnya Mahatir Muhamamd kembali, yang telah mencetak awal yang kuat pada reformasi demokrasi perlu bergerak cepat untuk mereformasi institusi negara, dan mengatur panggung, melalui undang-undang, untuk membuat terobosan yang berkelanjutan terhadap korupsi. Pada tahun 2019 ini, pemerintah Malaysia memiliki kesempatan untuk mendorong reformasi serius yang dirancang untuk memerangi korupsi, meningkatkan transparansi pemerintah, dan melindungi masyarakat sipil, untuk menampilkan kemajuan demokrasi yang nyata.

Penutup

Globalisasi  khususnya  di  Asia  telah  memberikan  peluang  bagi berkembangnya demokrasi sehingga dapat mencapai kemakmuran yang diinginkan. Namun tidak semua aspek globalisasi menguntungkan perkembangan demokrasi. Tiongkok tidak menggunakan istrumen demokrasi untuk mencapai kemakmurannya namun memanfaatkan fenomena globalisasi khususnyai sektor ekonomi internasional untuk bersaing di panggung internasional.

Globalisasi sudah banyak menyentuh negara-negara di Asia dengan berbagai dampaknya  apakah  sifatnya ekonomi  atau  politik.  Globalisasi  dianggap  telah membuka pintu negara-negara Asia ke dunia melalui perdagangan internasional. Namun tidak semua menerima globalisasi sebagai fenomena untuk mengubah negarnya menjadi demokrasi seperti di negara-negara Barat. 

Bagi demokrasi, globalisasi akan menyumbangkan dua sisi sekaligus, yakni mendorong proses demokratisasi dan sekaligus menciptakan krisis. Ketimpangan dan menguatnya kekuatan korporasi telah menciptakan ketidaksetaraan politik, dan karenanya menciptakan krisis demokrasi. Sementara itu, perkembangan teknologi komunikasi telah mendorong kemunculan ide dan gerakan demokrasi transnasional, dan dalam situasi semacam ini proses demokratisasi akan berlangsung. Negara-negara otoriter akan menghadapi tantangan berat dari globalisasi informasi, dan mau tidak mau mereka harus membuka diri bagi proses demokrasi politik.

Negara-negara di Asia kini tengah berada pada suatu proses memasuki pasar bebas. Perdagangan luar negeri yang lebih bebas memungkinkan memperoleh pasar yang jauh lebih luas dari pasar dalam negeri. Semakin terbukanya pasar untuk produk-produk ekspor, dengan catatan produk ekspor Indonesia mampu bersaing di pasar internasional. Hal ini membuka kesempatan bagi pengusaha di Indonesia untuk melahirkan produk-produk berkualitas, kreatif, dan dibutuhkan oleh pasar dunia. Namun juga berdampak negative bagi perusahaan-perusahaan lokal yang akan sulit bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang mangakibatkan ketimpangan ekonomi tidak dapat dihindari. Kapitalisme yang sesungguhnya dimainkan oleh korporasi-korporasi asing telah memberikan ancaman tersendiri pada negara-negara yang ditumpanginya.

Disini terdapat dua kemungkinan, bahwa demokrasi akan menjadi nyata dalam negara jika negara mempunyai filter yang kuat sehingga demokrasi yang masuk akan semakin memperkuat tatanan demokrasi internal negara. Akan tetapi di sisi lain, demokrasi yang masif dapat mengaburkan otoritas negara ketika negara menyerahkan dominasi pengaruh kebijakannya kepada institusi transnasional ataupun supranasional sehingga peran negara dalam membuat kebijakan dan mengatur regulasi akan tersamarkan dengan keberadaan kedua institusi tersebut.

Usaha yang barangkali perlu dilakukan di era globalisasi sekarang ini adalah bagaimana melakukan demokratisasi atas demokrasi. Ini akan mengambil bentuk yang berbeda-beda dalam berbagai negara, tergantung pada latar belakang masing-masing. Demokratisasi demokrasi seringkali mengimplikasikan reformasi konstitusional, dan pengembangan transparansi dalam urusan politik. Selain itu, perlu adanya eksperimen dengan prosedur demokrasi alternatif, khususnya jika prosedur semacam ini dapat membuat keputusan politik dekat dengan kepentingan warga sehari-hari. Gagasan demokrasi kosmopolitan mungkin bisa menjadi proyek bersama meskipun tampaknya akan menghadapi kendala yang tidak sedikit. Demokrasi akan berjalan lebih baik dalam lingkup kecil dan semakin akan berkurang jika berada dalam lingkup yang lebih besar. Wallahua’lam bi assawab

*Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Kategori: Opini