Kopi Bengkulu dan Kunjungan Wali Kota Amerika

Kopi Bengkulu dan Kunjungan Wali Kota Amerika

Diposting pada November 22, 2018 oleh Penulis Tidak Diketahui

InteraktifNews – Pagi ini aku disambut langit hitam, itu tanda langit akan mencurahkan lagi airnya ke bumi. Biar saja, itu sudah menjadi tugas langit, tugasku adalah menjawab penasaranku apa betul Sultan Bakhtiar Najamudin mampu menghadirkan Walikota New York ke Bengkulu dan aku tak percaya isu di beberapa media yang kubaca sebelum ku lihat dengan mata kepalku sendiri. tekadku pagi ini adalah sesibuk apapun Bung Sultan saya harus wawancara mesti sejenak.

Jam masih menunjukkan pukul 7.00 Waktu Bengkulu. Singkat cerita melalui teman yang kukenal saya disambut baik oleh Bung Sultan disudut taman sebuah hotel ternama di kota Bengkulu dengan secangkir kopi dan pisang goreng hangat. Selamat pagi bang apa kabar ? oh salamat pagi juga adinda, kabar baik silahkan duduk dan mari kita ngopi dan menikmati suasana pagi yang mendung ini. 

Beliau begitu tenang. Sembari menghirup kopi hangatnya, beliau memulai obrolan paginya “bukanlah lautan yang sanggup menggendong air yang jumlahnya tak terhitung laksana laut” Bukankah laut juga tak bertabur bintang-bintang?. Masing-masing telah digariskan tugasnya. 

Saya memegang nilai hidup yang mengalir. Tak ingin berharap bebas dari kesusahan tanpa berusaha mendapati kebahagiaan. Seterusnya begitu, seperti angin; kadang semilirnya menghanyutkanku pada mimpi-mimpi yang membuaikan, tapi tak jarang angin mengamukkan murkanya dengan kegagahan yang ia miliki. Disinilah kita harus mencermati siklus fenomena alam yang bergerak terus begitu juga kita, jika kita bergerak terus hingga hasil itu tak pernah berkhianat pada proses, ujarnya seperti ucap seorang suhu pada muridnya. Yah begitulah Bung Sultan selalu ramah hangat dan menyejukkan.

Secangkir kopi dan pisang goreng  seperti ritual wajib yang tak boleh ditinggalkan. Tak heran, kalau banyak kerabat dan sahabat menyebutku sebagai kopiholic. Ya itu lebih baik, ketimbang mereka menamaiku dengan; begundal kopi! Hidup itu sederhana, sesederhana kopi pagi. Manisnya bercampur pahit yang tak bisa kita sembunyikan. Kopi ya kopi, bukan tebu dinda. Semanis apapun kopi, ia menyertakan kepahitan sebagai keniscayaan kopi.

Dunia politik yang sebagian orang anggap dunia paling semrawut, ruang paling berisik dan bising. Politik sudah berpaling dari arah dan cita-cita kemuliaannya? Siapa sih yang bersentuhan dengan politik? Manusia itu zoon politicon; mahkluk politik!. Masing-masing orang memiliki persepsi yang berbeda soal ini. Sebeda dengan mempersepsikan kopi. Politik membuat orang memiliki hasrat dan mobilitas yang saling mempengaruhi. Biar saja, nanti orang-orang akan tahu posisi dan porsinya masing-masing. Justru karena politik esensinya adalah menguatkan bukan sebatas mempengaruhi, masing-masing orang memilih citarasa berpolitiknya dengan mengakrabkan dan menggauli perbedaan.

Politik kita belumlah memasuki periode yang kita bisa klaim sebagai lompatan jauh kedepan, meski tak bisa disimpulkan sebagai mundur ke belakang. Politik nasional masihlah diwarnai dengan argumen-argumen prosedural, belum pada nilai-nilai yang lebih subtansial dan menelurkan gagasan-gagasan yang tampak dengan jelas orientasinya. Politisi masih bersikukuh dengan impian-impian kekuasaan, akibatnya mereka rajin dengan politisasi banyak aspek kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini.
Wah Bung Sultan kok seperti mengalihkan isu dalam hati saya. Biasalah naluri wartawan. Tapi keraguanku seperti terbaca oleh beliau. Hehe… sabar dinda nanti kita kemasalah pokok. Biarla saya cerita dulu, lalu beliau melanjutkan dengan santainya. 

Saya juga tak mau ambil pusing dengan postulat-postulat politik, dengan adagium-adagium politik bahkan jargon-jargon politik kerap didengungkan banyak orang. Mereka tengah memainkan irama hidupnya, tengah mengelola cita-cita dan harapan politiknya.

Bahwa muara dari itu adalah kemenangan dalam festival politik atau kompetisi politik, itu juga urusan mereka. Apakah gerak-gerik politik yang beraneka rupa itu akan mempengaruhi kita? Atau kebanyakan pikiran hipokrisi yang mewabah; diam padahal dibenaknya cenat-cenut? Bukankah hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam. Sebab itu saya tak mau diam, karena sekali kita diam dan diamkan aneka rupa tontonan politik itu, kita hanya menjadi kuda tunggangan belaka.

Sepanjang tahun 2014, politik menjadi bintang iklan di media massa (cetak dan elektronik). Apakah sesungguhnya punya tarikan kuat untuk kita coretkan garis konklusi sebagai edukasi politik untuk rakyat, atau sebaliknya sebagai libido politisi yang terlanjur berpikir sangat komersil. Tegasnya, politik adalah komoditi, apa bedanya dengan kopi? Ada kopi yang masih murah meriah, tapi politik? Ongkos politik tak ada yang murah kan?

Sekarang macam-macam suguhan kopi, dari branding hingga citarasa. Seperti kopi tutuk lesung yang digadangkan mahasiswa di Bengkulu Expo itu kan Dinda? Begitu juga politik yang warna-warni itu. Hanya saja belum ada keberanian untuk membuat proposisi; kopi adalah politik!. Akhirnya, aku hanya berani mencoba dengan menjelmakan politik sebagai secangkir kopi, itu saja. 

Dari sinilah saya terinspirasi mendirikan Soeltan Kopi di Jakarta yang menjadi tempat nongkrong yang mengasikkan dan bahan bakunya semua berasal dari kopi bengkulu. Terkait tamu kita yang dari Amerika, siang ini akan saya bawa ke kabupaten Kepahiang untuk melihat perkebunan kopi rakyat dan bagaimana mengangkat citra Kopi Bengkulu hingga terkenal keseluruh dunia. 

Saya antusias sekali kopi Bengkulu dapat kita kembangkan baik itu industri hulu dan hilirnya. Makanya pada kesempatan ini saya mau bawa Wali Kota Amerika bersama imam besar Wahasington dan CEO media di inggris agar bisa lansung live memperkenalkan kopi Bengkulu ke seluru dunia. semoga ini membawa cakrawala baru kopi Bengkulu dimata dunia. Oh ia Dinda karena padatnya waktu nanti sepulang dari Kepahiang kita lanjutkan lagi ngobrolnya. Lalu saya mengikuti beliau dan sempat bersalaman dengan ke tiga tokoh dunia ini dan mengantarnya pada konvoi mobilnya sebayak 12 buah di kawal patwal dengan dengungan sirene berakhir pula kisah ini.

Penulis : Sadikin Ali
Editor : Alfridho Ade Permana 
 

Kategori: Humaniora