Pelanggaran Etika Periklanan di Media Sosial
Featured Image

Pelanggaran Etika Periklanan di Media Sosial

Diposting pada December 11, 2021 oleh Penulis Tidak Diketahui

Media sosial, Foto: Dok/Pixabay

Dengan adanya perkembangan teknologi di Indonesia, maka segala kebutuhan lebih mudah didapatkan seperti transaksi jual beli yang dahulu dilakukan secara langsung atau offline, sekarang sudah dapat dilakukan secara online dimana penjual barang dapat memposting foto dari produk mereka agar calon pembeli dapat melihat detail dari produk yang dijual. Perlakuan penjual tersebut bertujuan membuat iklan menarik agar mendapat perhatian dan calon pembeli untuk membeli barang atau jasa yang telah ditawarkan. Kemudahan dalam bertransaksi secara online mempengaruhi gaya hidup masyarakat sehingga mudah tertarik untuk membeli barang-barang yang diinginkan melebihi kebutuhannya. 

Saat ini, pembelian berbagai jenis barang yang dilakukan secara online dapat dilihat dari demografi pelanggan dengan sebagian besar berasal dari kalangan usia remaja hingga dewasa. Tidak hanya memiliki sisi baik, namun ada juga sisi buruknya. Dilihat dari sudut periklanan, tidak sedikit iklan yang tidak sesuai dengan etika periklanan di media, contohnya seperti dalam sebuah iklan produk A menyebutkan “untuk jangan menggunakan pemutih untuk menghilangkan noda pada baju”. Dari kalimat tersebut merujuk bahwa produk A menjelekkan produk pemutih lainnya, dan menganggap bahwa produk A bisa menghilangkan noda dengan cepat. Pada kenyataannya produk A juga dapat merusak warna dari pakaian.

Iklan dan Periklanan di Media Sosial

Iklan adalah suatu bentuk komunikasi yang dibuat secara persuasif dan menarik mengenai suatu produk atau jasa melalui media massa. Masyarakat Periklanan Indonesia mendefinisikan iklan sebagai segala bentuk pesan tentang suatu produk yang disampaikan lewat media, ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat (Kasali, 2007:11). Periklanan memiliki tujuan untuk menjalankan fungsi penyebaran informasi secara besar-besaran pada tahap awal produk, menjalankan fungsi persuasi yang bertujuan untuk membentuk permintaan selektif untuk suatu merek tertentu, dan menjalankan fungsi pengingat bagi suatu produk (Kotler, 2004: 236).

Perkembangan zaman telah melahirkan berbagai macam media, salah satunya media sosial. Media sosial adalah media di internet, yang memungkinkan pengguna untuk mewakili diri mereka sendiri dan berinteraksi dengan pengguna lain, berkolaborasi, berbagi, berkomunikasi, dan membentuk ikatan sosial virtual. Media sosial adalah interaksi temporal dan spasial media digital dan penggunanya dalam realitas sosial. Nilai-nilai yang ada di masyarakat dan komunitas juga muncul di internet dalam bentuk yang sama atau berbeda. Pada dasarnya, beberapa ahli yang meneliti internet menemukan bahwa media sosial di internet adalah gambaran dari apa yang sedang terjadi di dunia nyata, seperti plagiarisme (Nasrullah, 2016).

Menurut data dari Hootsuite (We Are Social): Indonesian Digital Report 2021, pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta atau sebesar 73,7% dari jumlah populasi di Indonesia (274,9 juta). Selain itu, pengguna media sosial aktif di Indonesia sebesar 170 juta atau sebesar 61,8% dari jumlah populasi di Indonesia. Media sosial yang paling sering digunakan masyarakat Indonesia adalah Instagram dan Facebook. Instagram memperoleh populasi pengguna sebesar 86,6% dari jumlah populasi di Indonesia, dan Facebook memperoleh populasi pengguna sebesar 85,5% dari jumlah populasi di Indonesia.

Media sosial telah menjadi salah satu aspek yang sangat diperlukan bagi kehidupan masyarakat terutama setelah pandemi global berlangsung. Melihat pertumbuhan yang pesat tersebut, situs media sosial telah menjadi instrumen bagi para pebisnis dalam memasarkan produk atau jasanya. Dengan memanfaatkan populasi media sosial yang besar ini, para pebisnis dapat memasarkan produk atau jada mereka di media digital ini. Para pebisnis juga dapat mudah mendapatkan informasi mengenai konsumen mereka yang dapat meningkatkan keterikatan mereka dengan merek. 

Platform media sosial yang paling populer di Indonesia yaitu YouTube, Instagram, Facebook, dan WhatsApp dengan masing-masing pengguna aktif sebesar lebih dari 1,3 miliar pengguna. Bagi para pemasar, platform media sosial ini sangat berpotensi sebagai media periklanan yang mampu membantu mereka untuk mendukung dan mencapai komunikasi pemasaran. Namun, dalam praktiknya masih seringkali ditemukan beberapa pelanggaran dan penyelewengan dalam penggunaan media sosial sebagai media periklanan ini. 

Pelanggaran Etika Periklanan di Media Sosial

Menurut RW Griffin, etika adalah keyakinan akan perilaku yang benar dan salah, baik atau buruk, yang mempengaruhi hal-hal lain. Etika berkaitan erat dengan perilaku manusia, khususnya perilaku para pelaku bisnis, terlepas dari apakah perilaku mereka etis atau tidak etis. RW Griffin percaya bahwa perilaku etis adalah perilaku yang sesuai dengan norma-norma sosial yang diterima secara umum tentang perilaku yang menguntungkan dan merugikan. Dalam bahasa Kant, etika mencoba membangkitkan kesadaran manusia yang bertindak secara otonom daripada bertindak secara mandiri. Etika bertujuan untuk membantu manusia bergerak bebas, tetapi dapat dijelaskan.

Dalam mengiklankan dan memasarkan produk maupun jasa, setiap pembisnis pun harus memiliki etika. Banyaknya pembisnis yang berlomba-lomba menampilkan iklan yang menarik dan kreatif ini seringkali melanggar kode etik periklanan. Tentu hal ini menjadi salah satu tantangan bagi pengusaha dalam menjaga hubungan yang baik dengan konsumen dan membangun loyalitas terhadap produk atau jasa mereka. Di tengah pasar yang kompetitif, masyarakat memiliki tuntutan yang tinggi pada perusahaan untuk bertanggung jawab dan berperilaku etis. Berikut akan dijabarkan beberapa pelanggaran dan penyelewengan dalam penggunaan media sosial.

Pertama, spamming atau Sending and Posting Advertisement in Mass, merupakan teknik promosi brand atau produk yang dilakukan dengan harapan mendapatkan calon konsumen, hanya saja tindakan ini dapat menimbulkan kerugian bagi pengguna media sosial dan juga dapat merusak integritas brand dalam media sosial. Perilaku ini akan sangat menganggu bagi para pengguna media sosial, misalkan spam mention secara acak di postingan untuk mempromosikan produknya. Contoh lainnya seperti spam iklan di kolom komentar postingan milik orang lain. Perilaku ini tidak hanya mengganggu pemilik akun, tetapi juga mengurangi kredibilitas dari adanya kolom komentar tersebut.
 
Kedua, pemanfaatan sosial media sebagai periklanan judi online dan pornografi. Instagram sebagai media sosial yang paling banyak pengguna nya di Indonesia juga dimanfaatkan oleh para pebisnis judi online untuk memasarkan situsnya, padahal situs judi online sudah jelas dilarang dalam aturan EPI pasal III A nomor 2.25. Para pebisnis judi online juga sering menampilkan gambar yang bersifat pornografi untuk menarik perhatian. Pemasaran yang dilakukan dengan cara menampilkan gambar pornografi ini melanggar etika periklanan di media sosial yang sudah jelas tertera pada EPI (Etika Pariwara Indonesia) pasal 1 tentang isi iklan pada tata krama dalam ketentuan nomor 1.26. 

Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebut Twitter sebagai media sosial yang memuat konten pornografi terbanyak sejak tahun 2009 dengan sekitar 600 ribu akun berisikan konten tak senonoh (Republika, 2020). Di Twitter, tercatat bahwa pengaduan masyarakat terhadap konten pornografi terdapat sebanyak 244.738 konten dan konten perjudian sebanyak 19.970 konten. Banyak dari konten pornografi yang ada di Twitter bertujuan memasarkan produk atau jasa seksual, namun yang memprihatinkan pengguna Twitter tidak hanya berasal dari kalangan dewasa tetapi juga anak-anak.

Penggunaan sosial media sudah tak terbendung oleh masyarakat zaman sekarang akibat dari perkembangan teknologi yang sangat pesat. Iklan dan periklanan di sosial media yang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat perlu diawasi oleh lembaga yang berwenang agar tidak melanggar etika di dalam masyarakat. Lembaga yang berwenang perlu menindaklanjuti dengan tegas perilaku pelanggaran dan penyelewengan tersebut. Selain itu, sebagai pembisnis tentunya perlu untuk menjaga etika dalam rangka membangun hubungannya dengan konsumen dan menjaga loyalitas produk atau jasa mereka.

Penulis adalah Ichsan Pahlevi, Nurul Ainunnisa, Yolanda Novianti, mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Niaga, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Depok

Kategori: Artikel