Review Balon Gubernur Bengkulu, Mereka yang Berurusan dengan Korupsi
Featured Image

Review Balon Gubernur Bengkulu, Mereka yang Berurusan dengan Korupsi

Diposting pada August 3, 2020 oleh Penulis Tidak Diketahui

Helmi Hasan dan Agusrin M Najamudin bakal calon Gubernur Bengkulu pilgub 2020, Poto:Dok/dari berbagai sumber yang dikelolah oleh redaksi Bengkuluinteraktif.com

Indo Barat – Pemilihan Gubernur Bengkulu yang akan digelar serentak pada Desember 2020 terus menghangat dan menunjukan dinamika yang sangat atraktif. Kalaulah diawal muncul ama-nama seperti Ahmad Hijazi, Imron Rosyadi, Rosjonsyah, Helmi Hasah, Agusrin M Najamudin, Rohidin Mersyah hingga Bupati Musi Banyuasin, Sumsel, Dodi Reza Alek Noerdin juga digadang-gadang bakal ikut di Pilgub Bengkulu. Kini nama-nama itu semakin mengerucut ke 3 nama atau 4 nama saja. 

“Banyak faktor pilkada serentak tahun ini tidak terlalu bergairah, pertama karena wabah COVID-19 yang memaksa masyarakat tidak banyak konsen dengan konten-konten politik walaupun dalam prakteknya penanganan COVID-19 sering dikaitkan dengan kepentingan politik. Saya melihat khusus pilgub hanya akan berakhir 3 sampai 4 pasangan saja” kata pengamat Politik Universitas Bengkulu Mirza Yasben beberapa waktu lalu kepada Bengkuluinteraktif.com. 

Sinyal itu diperkuat dengan sikap partai politik yang sudah menunjukan arah dukungan, PKS misalnya sudah nampak membulat bakal mendukung ketua DPD Partai Golkar, Rohidin Mersyah. Apabila PKS dan Golkar kompak mendukung petahan Rohidin Mersyah maka sudah dipastikan cukup untuk berlayar. PKS dengan 3 kursi ditambah dengan Golkar 7 kursi sehingga total 10 kursi yang mana pilgub Bengkulu hanya membutuhkan 9 kursi.  

Helmi Hasan hampir dipastikan mengantongi rekomendasi PAN, selain karena menjabat ketua DPW PAN Provinsi Bengkulu, Ketum DPP PAN saat ini juga dijabat kakak kandung dari Helmi Hasan, Zulkiefli Hasan. Sulit bagi balon lain untuk menggoyang posisi Helmi Hasan atas dukungan dari partai berlambang matahari itu. 

Selain kepastian dari PAN, Helmi Hasan juga dikabarkan sudah mengantongi restu Hanura dan Demokrat. Kalaulah 3 partai ini berkoalisi, Helmi Hasan dipastikan melangeng sebagai kandidat. PAN 2 kursi, Hanura 3 kursi, dan Demokrat 5 kursi, total 10 kursi. 

Nama lain yang terus menghangat adalah mantan Gubernur Bengkulu periode 2005-2010 Agusrin M Najamudin. Sejauh ini Agusrin memang belum mengkonfirmasi bakal didukung parpol mana saja namun, diprediksi kuat bakal menjadi kandidat di pilgub Bengkulu. Sinyal itu ditambah dengan marakanya alat peraga seperti Baliho yang banyak mengisi sudut persimpangan jalan. Agusrin nampak serius serta diisukan bakal menggandeng Imron Rosyadi atau Izda Putra. 

Helmi Tersangka, Agusrin Terpidana 

Apabila prediksi pengamat politik Unib Mirza Yasben benar yaitu; pilgub Bengkulu akan berakhir dengan 3 atau 4 paslon maka nama Helmi Hasan, Agusrin M Najamudin, dan Ahmad Hijazi adalah yang paling berpeluang menjadi kandidat selain balon petahan Rohidin Mersyah. Namun, Agusrin M Najamudin dan Helmi Hasan sama-sama sempat berurusan dengan perkara korupsi. Helmi sebatas tersangka, Agusrin berakhir sebagai terpidana. 

Helmi Hasan pernah berurusan dengan perkara korupsi saat Kajari Bengkulu era Wito menetapkannya sebagai tersangka pada tahun 2015 silam dalam kasus dana Bantuan Sosial (Bansos) Pemerintah Kota Bengkulu tahun anggaran 2012 dan 2013. 

Helmi Hasan yang saat itu baru menjabat wali Kota Bengkulu periode pertama ditetapkan tersangka bersama-sama dengan mantan Wakil Wali kota Patriana Sosialinda, Mantan Wali Kota Bengkulu periode 2009-2014 Ahmad Kanedi, dan beberapa anggota DPRD Kota periode 2009-2014, Sandi Bernado dan Irman Sawiran termasuk Ketua DPRD Sawaludin Simbolon dan pihak swasta Diansyah Putra, Direktur PT Ratu Agung Niaga.

Urusan Helmi Hasan dengan perkara korupsi semakin ruwet saat Kajari Bengkulu menjadikannya buronan karena terus mangkir saat dipanggil jaksa penyidik. “Ya, dia telah ditetapkan sebagai buron karena tak memenuhi panggilan kejaksaan setelah ditetapkan sebagai tersangka” kata Kepala Kejaksaan Negeri Bengkulu, Wito, Selasa (19/5/2015), dikutip kompas.com.

Tak tanggung pula, perkara yang menjadikan Helmi Hasan tersangka disinyalir merugikan keuangan negara mencapai Rp 11,4 miliar. Status tersangka itu kemudian digugat Helmi ke pengadilan dan menang hingga status tersangkanya pun dicopot. Saat hakim tunggal PN Bengkulu, Meriwati membacakan putusan status tersangka Helmi, nampak jelas kontribusi dari dua ahli hukum Bengkulu Elektison Somi dan Herlambang dalam pecopotan statatus tersangka Helmi. 

“Menimbang keterangan ahli administrasi negara pihak pemohon Elektison Somi dan guru besar hukum pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Bengkulu, Herlambang, memutuskan menerima sebagian gugatan pemohon dan penetapan status tersangka Helmi Hasan oleh penyidik Kejari tidak sah,” kata Meriwati dalam putusan sidang pra-peradilan di Bengkulu, Rabu (09/09/2015) dikutip kompas.com

Demikian pula dilaporkan liputan6.com, (09/09/2015) sebelum putusan dibacakan, kala itu sidang praperadilan yang digelar di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Bengkulu sempat molor selama satu jam. Hakim tunggal Meriwati terlihat beberapa kali membasuh keringat saat membacakan amar putusan setebal 87 halaman itu. Di luar pengadilan juga tak kala mencekam, terlihat ratusan orang berpakaian preman seolah mengepung kantor pengadilan yang berada di jalan Protokol S Parman, Kota Bengkulu.

Walaupun status tersangka Helmi Hasan telah dicopot, bukan berarti perkara korupsi dana Bansos Pemkot Bengkulu sama sekali tak berujung. Kasus ini setidaknya telah mempidanakan 6 orang ASN Pemkot Bengkulu yaitu, mantan Sekda Yadi, mantan Bendahara DPPKAD Nopriana, PPTK DPPKAD Satria Budi yang masing-masing divonis hakim 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta.

Berikutnya mantan Kasubag Kesra Setda Kota Bengkulu Almizan divonis lebih berat yaitu dengan hukuman penjara 1 tahun 2 bulan dan denda Rp 50 juta. Majelis hakim juga memvonis mantan kepala DPPKAD Syaferi Syarif dengan penjara 5 bulan dan denda Rp 50 juta. Ikut juga terlibat, mantan Kabag Kesra Kota Bengkulu Suryawan Halusi yang divonis hakim 1 tahun 8 bulan dan denda Rp 50 juta. 

Tahun 2017 lalu, perkara copotnya status tersangka Helmi Hasan dari kasus korupsi dana Bansos kembali dihangatkan M Sofyan. Mantan Kepala DPPKAD Kota Bengkulu itu bercerita ke media usai dirinya menjalani pemeriksaan sebagai tersangka korupsi dana SPJ fiktif dana sosialisasi pajak di DPPKAD Kota Bengkulu. M Sofyan mengaku dirinya hanya korban karena diperintahkan Sekda Kota Bengkulu Marjon pada tahun 2015 lalu untuk mencarikan dana Rp 500 juta untuk kepentingan pra peradilan Helmi Hasan. 

“Dipanggil oleh Marjon. Itu kan (uang Rp 500 Juta) diambil oleh Itang (Ikhsanul Arif). Untuk praperadilan Walikota Helmi Hasan,” kata Sofyan, dikutip rmolbengkulu.com, Rabu, (06/09/2020)

Saat ini perkara korupsi yang pernah melibatkan nama Helmi Hasan itu belum sepenuhnya tuntas. Pada bulan Februari lalu kelompok masyarakat yang menamakan diri AMPB menggelar aksi demo di Kejaksaan Agung RI. Mereka menuntut agar Helmi Hasan dikembalikan menjadi tersangka. AMPB juga meminta Kejagung menjadikan kasus ini menjadi perhatian serius agar memenuhi rasa keadilan serta meminta penyelidikan dugaan kongkalingkong Wali Kota Bengkulu Helmi Hasan dengan oknum penegak hukum.

Namun, aksi demonstrasi yang digelar kelompok masyarakat itu disayangkan kuasa hukum Helmi Hasan, Agustam Rachman, dalam rilisnya yang beredar di kalangan pers, aksi tersebut disebut sangat kental nuansa politik.

“Bahwa kami pastikan demo APMB tersebut bermotif politik untuk merusak nama baik Helmi Hasan. Mengapa hanya nama Helmi Hasan yang dipersoalkan dalam demo AMPB? Bukankah Wakil Wali Kota saat itu (Patriana Sosialinda), Ahmad Kanedi (mantan walikota), Sawaluddin Simbolon (mantan Ketua DPRD), Irman Sawiran dan Sandy Bernando (mantan Wakil Ketua DPRD) juga waktu itu menjadi tersangka bansos dan juga menang dalam praperadilan. Apakah karena Helmi Hasan Menjadi calon kuat Gubernur Bengkulu Pilkada 2020” kutipan poin 3 rilis kuasa hukum Helmi Hasan.

Berbeda dengan Helmi Hasan, perkara korupsi yang menimpa Agusrin M Najamudin sudah berakhir di pintu penjara. Agusrin dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta setelah Mahkamah Agung membacakan amar putusanya karena terbukti merugikan keuangan negara hingga Rp 20,16 miliar. 

Kasus yang menimpa mantan Gubernur termuda se-Indonesia ini berawal dari polemik dana perimbangan khusus bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Dispenda Provinsi Bengkulu tahun 2006 silam. 

Mengutip amar putusan Kejagung RI Nomor 1891 K/Pid/2011, kala itu Gubernur Agusrin yang sedang mengalami kesulitan keuangan beberapa kali mengeluh ke Kepala Dispenda Provinsi Bengkulu Chairudin. Keluhan itu kemudian ditanggapi Chairudin dengan cara menawarkan agar Agusrin membuka rekening tambahan untuk menampung setoran dana PBB/BPHTB yang selama ini disetor ke Rekning Kas Umum Daerah. Tawaran itu disampaikan Chairudin agar dana setoran PBB/BPHTB mudah digunakan tanpa harus menunggu persetujuan dari DPRD. 

Agusrin pun menyetujui dan memerintahkan Chairuddin mengatur pembuatan rekening tambahan itu. Chairudin pun menyiapkan surat dengan Nomor 900/2228/DPD.I tanggal 22 Maret 2006 untuk ditandatangi Agusrin. Surat itu ditujukan kepada Kementrian Keuangan agar menyetujui pembukaan rekening tambahan untuk menampung dana selain DAK dan DAU yaitu dana PBB/BPHTB. 

Meskipun surat tersebut belum mendapat jawaban dari kementrian Keuangan, Chairudin sudah menindaklanjuti surat tersebut dengan membuat surat ke Bank BRI dan Bank Mandiri yang pada pokoknya berbunyi agar dan setoran PBB/BPHTB dimasukan ke rekening tambahan Kas Umum Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 00000115-01-001421-30-3 pada Bank BRI Cabang Bengkulu. 

Hingga 11 Mei 2008, uang tertampung di rekening tambahan itu mencapai 21,323,420,895,56. Uang inilah kemudian digunakan Agusrin bersama-sama dengan Chairuddin yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Diantaranya digunakan untuk pembangunan pabrik CPO senilai Rp 9,17 Miliar padahal uang untuk membangun CPO hanya Rp 2 Miliar sedangkan sisanya Rp 7,17 Miliar digunakan untuk kepentingan Agusrin. 

Untuk mencairkan uang di rekening tambahan itu, Agusrin bersama-sama dengan Chairuddin menggunakan beberapa modus. Diantaranya memanipulasi surat permohonan dari Dinas Kimpraswil (sekarang PUPR) yang seolah-olah mengusulkan pengadaan alat berat. Usulan itu kemudian disetujui Agusrin dan membuat disposisi ke Chairudin, uang pun dicairkan Chairudin senilai Rp 3,35 Miiar dan diberikan ke Agusrin Rp 1,5 Miliar melalui ajudan, Nuim Hayat. 

Selanjutnya memanipulasi surat Bapelitbang Provinsi yang seolah-olah mengusulkan pengadaan bibit jarak. Usulan itu kembali disetujui Agusrin dan mendisposisinya ke Chairudin agar menggunakan uang setoran PBB/BPHTB. Atas disposisi itu, uang di rekening tambahan itu kembali dicairkan senilai Rp 3,5 miliar yang kemudian diberikan Chairudin ke Agusrin melalui Chusnul Fikri. 

Selain itu atas perintah Agusrin, Chairudin juga mentransfer dana setoran PBB/BPHTB itu rekening Agusman Badarudin Rp 100 juta, Slamet Sugandi Rp 405 juta, Abdulrab A Tamimi Rp 300 juta, Kusumawati Rp 2 miliar, Wasik Salik Rp 100 juta, Andry Ahmad Kosasih Rp 1,67 miliar, Putu Drajat Satosa Rp 495 juta, dan Zakaria Rp 20 juta. Total Rp 5,09 miliar. 

Uang itu juga digunakan untuk membeli 200 lembar travel cek senilai 10 juta per lembar yang juga diberikan Chairudin ke Agusrin secara bertahap, 10 lembar atau senilai Rp 1 miliar pada 21 Juni 2006 dan 100 lembar lagi diberikan Cahirudin ke Agusrin pada 27 Oktober 2006. Sisanya senilai Rp 3,89 miliar dan Rp 2,17miliar digunakan untuk pihak-pihak lain yang tidak bisa dipertangungjawabkan sehingga menurut audit BPK total kerugian negara mencapai Rp 20,16 miliar. 

Untuk menutupi kerugian negara itu, dibuatlah skenario investasi bodong BUMD PT Bengkulu Mandiri (BM) ke dua perusahaan swasta yaitu PT Sawit Bengkulu Madani (SBM) yang bergerak dibidang perkebunan sawit dan PT Bahari Bumi Nusantara (BNN). Modusnya Agusrin memerintahkan Chairudin yang saat itu selain menjabat sebagai Kadispenda juga menjabat komisaris BUMD PT Bengkulu Mandiri, Hamsyir Lair (Sekda Provinsi Bengkulu), Iskandar ZO (Karo Ekonomi) dan Destriana Nirza (Dirut PT Bengkulu Mandiri) agar PT BM melakuan investasi saham ke pada dua perusahan tersebut. Nilai investasi sudah ditentukan yaitu Rp 16,2 miliar ke PT SBM dan 2,5 Miliar ke PT BNN. Tanggal penawaran saham dari kedua perusahaan juga dibuat mundur. 

Setelah uang investasi saham ditaransfer, Chairudin saat bersamaan juga sudah menyiapkan cek senilai yang sama untuk ditandatangani Direktur PT BNN, Kusumawati dan Direktur PT SBM, Heri Santoso. Uang kemudian dicairkan Chairudin dan disetor kembali ke Rekening Kas Umum Daerah untuk menutupi uang yang telah digunakan Agusrin. Skenario ini dibuat seolah-olah tidak ada kerugian negara dalam perkara itu. 

Sebelum diputus MA, perkara Agusrin awalnya diadili di PN Bengkulu yang kemudian memvonisnya 4 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp 500 juta. Namun, Agusrin mengajukan banding ke PN Jakarta Pusat  yang kemudian sempat memvonisnya bebas. Jaksa pada PN Bengkulu kemudian mengajukan kasasi ke MA. Perkara Agusrin pun diputusa MA dengan diktum keputusan membatalkan keputusan PN Jakarta Pusat dan hakim MA yang dipimpin Artidjo Alkostar memvonis Agusrin 4 tahun penjara dan denda RP 200 juta pada tanggal 10 Januari 2012 lalu.

Tren Elektabilitas Melesat

Agusrin M Najamudin dan Helmi Hasan memang pernah berurusan dengan perkara korupsi. Agusrin tersandung kasus dana PBB/DBHTB dan berakhir di pintu penjara. Berbeda dengan Helmi Hasan walaupun sempat berurusan dengan perkara korupsi, Helmi Hasan baru sebatas menyandang status tersangka. Namun, yang menarik Lembaga Survei Diaspora Reasearch and Strategy justru melaporkan tren elektabilitas kedua balon gubernur Bengkulu ini melejit untuk gelaran pilgub 2020. 

Menurut Diaspora tren elektabilitas Agusrin M Najamudin mencapai angka 28,3 persen di bulan Juli atau naik 12,1 persen dibandingkan bulan Maret. Tren elektabilitas Helmi Hasan di bulan Juli juga melejit dua kali lipat, Maret tren elektabilitas Helmi Hasan hanya  7,8 persen atau naik 8,2 persen menjadi 16,0 persen di bulan Juli. 

Berikut hasil survei eletabilitas balon Gubernur Bengkulu menurut Diaspora Research and Strategy; Agusrin M Najamudin diposisi teratas 28,3 persen, Rohidin Mersyah menduduki posisi kedua 18,1 persen (turun dari jika dibandingkan Maret) dan diposisi ketiga ditempati Helmi Hasan 16,0 persen. 
 
Seakan membantah survei Diaspora, lembaga survei Saiful Mujani Reasearch Centre (SMRC) justru melaporkan hal yang berbeda. Menurut SMRC angka dukungan (elektabilitas) tertinggi masih ditempati balon petahana Rohidin Mersyah bukan Agusrin.

“Bapak Rohidin sebagai Gubernur petahana masih mendapatkan dukungan tertinggi diantara calon-calon gubernur yang akan berkompetensi pada pilkada gubernur 2020 ini” kata peneliti senior SMRC, Sirojudin Abbas, Kamis, (30/07/2020) melalui video yang dikirim ke redaksi Bengkuluinteraktif.com.

Data yang beredar, SMRC menempatkan elektabilitas Rohidin Mersyah diangka 24 persen, Agusrin M Najamudin diangka 21 persen, dan Helmi Hasan di kisaran angka 18 persen. SMRC juga melaporkan apabila elektabilitas terus beratahan maka Pilgub Bengkulu 2020 dimenangkan Rohidin Mersyah bukan Agusrin atau Helmi Hasan.

Feri Vandalis, Koordiantor Forum Pemuda Peduli Bengkulu (FPPB) mengatakan, apabila kontestan Pilgub Bengkulu diisi nama-nama yang pernah berurusan dengan korupsi, yang akan terjadi adalah pertarungan moral yang sangat kuat di tengah masyarakat. Saat itu pula tingkat kecerdasan pemilih akan diuji. 

“Apabila dua balon ini benar maju, mau tidak mau masyarakat harus dihadapan dengan orang-orang yang pernah berurusan dengan korupsi. Agusrin pernah menjadi terpidana korupsi dana bagi hasil pajak dan Helmi Hasan yang sempat menjadi tersangka korupsi dana Bansos. Status tersangka Helmi memang sudah dicabut pengadilan tapi bukan berarti tidak berpotensi untuk kembali menjadi tersangka” kata Feri kepada Bengkuluinteraktif.com, Rabu, (28/07/2020)

Dijelaskan Feri, Hakim PN Bengkulu membatalkan status tersangka pada Helmi Hasan bukan berarti tindak pidana pada kasus Bansos yang disinyalir merugikan negara Rp 11 M itu tidak ada, buktinya pengadilan sudah memvonis 6 orang ASN Kota Bengkulu.

“Pra peradilan hanya menyoal adminsitrasi bukan pada substansi masalah, prosedur penetapan tersangka yang tidak tepat (administrasi penetapan tersangka) bukan soal ada atau tidak pidananya” 

Seharusnya lanjut Feri, jaksa memulai dari awal penyidikan karena sudah ada audit dari BPKP yang menyatakan ada kerugian negara “Itu pertanyaan besar yang harus dijawab jaksa, siapa yang merugikan negara itu? Ayo buktikan dengan melakukan penyidikan ulang. Bukan berarti orang yang dibatalkan status tersangkanya serta merta hilang potensi untuk jadi tersangka lagi. Kalau jaksa serius mengungkap perkara ini, ya lakukan penyelidikan ulang”

Aktifis muda ini melihat fenomena menguatnya balon yang pernah berususan dengan perkara korupsi di Pilgub Bengkulu 2020 merupakan pertanda buruk karena masyarakat akan dihadapkan dengan ‘hidangan’ demokrasi yang sudah bermasalah dengan komitmen pemberantasan korupsi. Andaikan masyarakat tidak cerdas memilih bisa jadi yang pernah berurusan dengan korupsi menduduki kursi kekuasaan. 

“Pesta demokrasi akan kehilangan marwah pada komitmen pemberantasan korupsi tapi kita tidak bisa berpatok pada satu lembaga survei saja, kan lembaga survei lain (SMRC) menyatakan sebaliknya. Saya sejauh ini sangat meyakini masyarakat kita cerdas dalam membuat pilihan dan tetap sepakat kalau korupsi ini kejahatan luar biasa” ungkap Feri 

Feri juga me-review pada peraturan KPU dan putusan MK sebelumnya yang telah melarang terpidana korupsi untuk jadi kontestan pemilu.

“Dulu sudah ada PKPU yang tegas melarang para koruptor jadi kontestan pemilu tapi dianulir pengadilan, ada juga keputusan MK tapi dilonggarkan mereka bisa maju lagi setelah lima tahun. Saya melihat fenomena ini menunjukan tidak ada kemitmen bersama untuk memberantas korupsi, termasuk di sistem pilkada”

Apabila pilkada menyuguhkan orang-orang yang pernah berurusan tindak pidana korupsi maka, pilihan akan bermuara ke masyarakat.

“Kita tahu bagaimana politik uang itu begitu masif, survei LIPI untuk pemilu 2019 lalu 40 persen masyarakat menerima uang dari peserta pemilu artinya siapa yang banyak duit sangat berpotensi dipilih bukan siapa yang berintegritas. Kedepan bukan hanya koruptor yang akan mengisi ruang kekuasaan tapi mafia juga berpeluang. Harusnya filter itu ada di sistem bukan diserahkan ke masyarakat yang begitu liar dalam pemilu”

Tugas aktifis penggiat anti korupsi kedepan sambung Feri, lebih berat karena harus memberikan edukasi kepada masyarakat agar bahaya laten korupsi tidak menjadi produk di pilkada serentak di Bengkulu 2020. 

“Saya pikir tidak ada satu pihak pun hari ini yang bisa kita harapkan kecuali kalangan aktifis agar bahaya laten korupsi tidak terus-terusan berada di level kekuasaan. Ya terpaksa teman-teman aktfis harus lebih giat turun kebawah mengedukasi publik.

Konstitusi kita memang membolehkan orang maju kembali walaupun pernah korupsi atau pernah tersangka korupsi. Selaku warga negara yang baik kita wajib menghormati hukum yang berlaku tapi menurut Saya perkara korupsi bukan hanya soal kepastian hukum tapi ada nilai-nilai moral yang tersirat. 

Untuk itu masyarakat harus dikasih tahu, ini yang pernah tersangka korupsi, ini yang pernah jadi terpidana korupsi dan ini yang belum pernah berurusan dengan korupsi. Masalah siapa yang dipilih itu urusan dalam kotak suara tapi menyampaikan pesan moral adalah kewajiban kita” kata Feri

Penulis: Riki Susanto

Kategori: Hukum